Jumat, 13 Desember 2013

Mungkin, karena Mati Rasa


Aku pulang terlambat. Senja sudah lewat dan gelap telah menyelimuti Malang seperti kerudung hitam bela sungkawa. Yang lebih parah, aku lupa menelepon ke rumah, memberi tahu Ibuku bahwa aku mampir ke rumah Ifiy, temanku. Rumahku di Suhat, sedangkan rumah Ifiy dan sekolahku di Blimbing, jarak yang cukup jauh untuk ditempuh karena aku menaiki Angkutan Umum.
 Ifiy, temanku yang biasa disebut oleh teman-teman seperti kembaranku ketika
kami sedang berjalan berdua di sekolah, adalah teman sekelasku yang akhir-akhir ini aku kenal karena sering terjadi kesamaan di antara kita, mulai dari hobby membacanya hingga jalan pikiran kita yang selalu sama. Dan dari situlah awal aku mengenalnya, yang hanya beberapa bulan ini.

"Waktu kamu kayak aku dulu, apa yang kamu lakukan?" tanya Viya, yang juga teman sekelasku dan Ifiy, saat kami sedang berada di rumah Ifiy. Dia memang sedang mengalami suatu masalah dengan cowoknya, yang kala itu tak beda jauh dengan apa yang pernah Ifiy dan Aku alami.

"Aku cuman bisa pasrah waktu mendengarnya, tapi saat aku melihat dia dengan kekasihnya, aku hanya bisa bungkam dan mencoba pergi karna hati dan jiwaku tak bisa diajak kompromi, mereka saling beradu." jawabku.

"Yah, mungkin saat ini aku hanya bisa pasrah, sama sepertimu, tapi aku nggak bisa ngerasain apa yang kamu rasain waktu melihat mereka berdua, karna aku belum diberi kesempatan untuk melihatnya." ujar Viya.

"Waktu itu aku hanya bisa diam mendengar berita itu, dan melamun, tak pernah membayangkan saat memoriku memutar kenangan tentang aku dan dia dulu, dan seketika ada tombak yang menghantamnya dengan dahsyat yang membuat pikiranku hancur tak karuan." jawab Ifiy tentang perasaanya dulu. 

"Ya, apa yang aku rasakan ini emang nggak beda jauh sama apa yang kalian rasakan. Saat aku melamun, mengingat (dulu) sewaktu kita bersama, tiba-tiba ada beberapa butiran kristalku terjatuh dari kelopak mataku, awalnya aku bersikap biasa, mungkin bisa dibilang acuh tak acuh, namun setelah butiran kristalku jatuh, entah kenapa ada rasa sakit yang menyelimuti hatiku." tanggapan Viya waktu itu dengan raut mukanya yang menampakkan kesedihan.  
"Mungkin apa yang kita rasakan kepada mereka itu udah Mati Rasa karena kita terlalu menyayangi mereka sehingga perasaan itu menjadi pudar dan biasa, layaknya kita dengan kakak  sendiri, namun ketika mereka pergi rasa sakit dan sedih yang amat mendalam membuat kita mematung pasrah karenanya dan hanya tangislah yang bisa meluapkan itu, percayalah Tuhan memberi cobaan kepada hamba-Nya yang kuat, Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik. " kata Ifiy.
"Ya, perpisahan adalah awal dari pertemuan, ada seseorang yang menyambut kita di depan sana. Ada saatnya kita mendapatkan sesuatu dan ada saat nya juga kita kehilangan sesuatu" lanjutku.
"Dan kita harus buktikan, tanpa mereka kita bisa, bisa menjadi sosok yang lebih baik, karena hidup nggak cuman buat soal cinta, masih ada hal yang lebih penting daripada cinta. Bangkit secara perlahan memang sulit, tapi apa salahnya kalau dicoba, kalian aja bisa, aku juga harus bisa" lanjut Viya. Kami pun tertawa dan melanjutkan perbincangan kami dengan cerita masing-masing.
Terima kasih Tuhan, Engkau memang Maha Pengasih, telah memberikanku pikiran yang lebih dewasa dari yang lampau serta memberiku sosok teman sekaligus guru percintaanku yang sependapat denganku, yang lebih dewasa dariku. Yang sedang (bersama-sama) mencari sosok rindunya lagi, yang sempat hilang dan sosok yang bisa membuat Mati Rasa (lagi). Dan jika saat ini ada yang bertanya, "Siapa sosok yang telah membuatmu Mati Rasa?" maka aku akan menjawab "Dia", sosok yang (mungkin) kelak akan membaca tulisanku ini dan (mungkin) berfikiran bahwa ini hanya sebuah tulisan (fiksi) yang konyol. Terima Kasih, atas semua pelajaran yang kauberi.
Sosokmu yang telah membuatku Mati Rasa, sepertinya tak akan pernah tersingkir dalam otakku.
~Wind

2 komentar: