Senin, 06 Januari 2014

Edensor: Cinta, Mimpi, dan Keluarga


Produksi : Mizan Production, Falcon Pictures
Produser : Putut Widianarko dan Avesina Soebli
Sutradara : Benni Setiawan
Genre: Drama Remaja
Aktor dan Aktris : Lukman Sardi, Abimana Aryasatya, Astrid Roos, Mathias Muchus, Zulfani, Rendy Akhmad


Tidak terasa, kita telah berada di tahun baru 2014. Terciptanya suatu perubahan adalah harapan semua orang. Tentu, perubahan yang dimaksudkan ialah hijrah dari keburukan menuju kepada kebaikan. Sebab, esensi perubahan merupakan suatu itikad untuk memperbaiki segala kesalahan di masa lalu. Perubahan menyangkup seluruh aspek kehidupan, termasuk mimpi, dan cinta.
Salah satu resolusi di tahun baru ialah usaha kita untuk mencintai hasil karya anak negeri. Karena selama ini,diakui atau tidak, kita lebih gandrung pada hasil karya orang luar ketimbang hasil jerih payah yang ditampilkan oleh anak kandung negeri ini.
Dalam dunia perfilman misalnya, kita lebih condong menggemari produk luar negeri dan mengganggap tak berkelas hasil karya seniman lokal di dalam negeri sendiri. Akhirnya, di mata dan hati penonton, film karya anak negeri justru tersingkirkan, kalah telak dari produksi luar negeri yang tampak dengan kualitas dan mutu bagus. Padahal, jika diamati secara saksama, karya asli anak negeri, terkhusus di dunia perfilman sebenarnya tidak kalah bagusnya ketimbang karya-karya luar.
Para sutradara dalam negeri tampaknya berpikir cukup keras agar karya-karya mereka diminati oleh seluruh anak negeri ini. Namun, sutradara-sutradara lokal semakin hari tampak cuku jenius dalam menyajikan film yang akan disuguhkan ke hadapan publik negeri kita.
Aspek budaya serta cara pandang masyarakat terhadap dinamika kehidupan di Indonesia tampak dijadikan sebagai referensi utama bagi para sutradara agar hasil karya mereka memiliki tempat di hati masyarakat secara luas. Tentu, tanpa menafikan aspek bisnis yang menjadi bagian lain dari dunia perfilman itu sendiri.
Edensor, Laskar Pelangi 2 hasil karya Andrea Hirata patut ditonton. Kisahnya sangat inspiratif. Film yang diproduseri oleh Putut Widjanarko dan Avesina Soebli ini mengetengahkan kisah dua orang sahabat yang ingin menggapai mimpinya lewat studi ke luar negeri. Di sebuah universitas kenamaan Sorbonne, Paris, Prancis. Ya, kedua sahabat itu bernama Ikal (Lukman Sadri) dan Arai (Abimana Aryasatya).
Dikisahkan, Ikal dan Arai adalah dua pemuda asal Belitung yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk studi ke universitas Sorbonne. Di universitas terkenal itu, Ikal mengambil bidang studi ilmu ekonomi, sementara Arai di bidang biologi. Mereka tinggal bersama di satu tempat, dan dalam kesehariannya pun mereka hidup bersama serta saling menyokong antara satu sama lain. Di Universitas Sorbonne, Ikal dan Arai tampil sebagai pelajar yang cerdas.
Di sisi lain, sadar biaya beasiswanya pas-pasan, sambil kuliah Ikal dan Arai bekerja apa saja demi mengatasi kekurangan. Jadi pelayan dan mengamen di jalanan pun mereka lakukan. Hasilnya mereka simpan, dan dikirim ke orang tua mereka di Belitung. Inilah cara keduanya untuk bertahan di negeri orang serta membantu orang tua mereka yang jauh.
Untuk menggapai mimpi dan cita-cita memang bukanlah urusan mudah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Rintangan dan godaan seakan telah jadi dua hal yang ditakdirkan untuk menyertai dalam sebuah perjuangan hidup. Rintangan pertama mereka ialah soal tempat tinggal karena keduanya harus hidup berpindah-pindah. Padahal, di Eropa saat itu sedang diterpa musim dingin dan bersalju hingga mencapai 0 derajat.
Selanjutnya, setelah lepas dari rintangan pertama, godaan lain datang bagai tamu tak diundang. Katya, seorang gadis primadona yang jadi bahan rebutan para lelaki di Sorbonne justru memilih Ikal untuk menjadi pacarnya. Sulit bagi Ikal untuk menolak gadis secantik Katya. Ikal dan Katya pun terbuai asmara dan berpacaran.
Mendengar hal itu, Arai lantas bersikap sinis. Bukan karena cemburu atau iri hati, tetapi Arai khawatir akan nasib studi sahabatnya itu akan terbengkalai. Mereka pun jadi bertengkar hebat setelah berkali-kali Arai menasehati tetapi Ikal tak mau peduli.Dan ini jadi rintangan ketiga bagi keduanya.
Karuan saja, kekhawatiran Arai terbukti. Nilai Ikal menurun drastis. Bahkan Ikal nyaris tidak lulus semester satu. Namun, tak butuh waktu lama, Ikal segera menyadari kesalahannya dan berjanji akan segera memperbaiki keadaan. Ikal minta kepada Katya untuk mengakhiri jalinan asmara yang telah mereka rajut dengan dalih perbedaan keduanya dalam memandang serta mendefinisikan arti cinta.
Selain itu, Ikal juga tidak dapat menampik bahwa dirinya masih sangat mencintai Aling, gadis Belitung yang telah lama tersimpan di hatinya. Ikal pun kembali ke tujuan awal ia datang ke Paris yakni dalam rangka studi, mengejar mimpi, dan membahagiakan keluarga di Belitung.
Film yang ditayangkan pada 24 Desember 2013 ini menyajikan kisah yang menarik dan inspiratif. Dalam memulai resolusi di tahun baru, film yang diangkat dari novel Andrea Hirata ini patut dijadikan sebagai inspirasi. Meski begitu, kekurangan yang tampak jelas di aktingnya. Film yang juga diperankan Mathias Muchus ini justru lebih menonjolkan menara Eiffelnya ketimbang universitas Sorbonne yang ternama itu, padahal, kisahnya tentang mengejar mimpi melalui pendidikan.
Film ini tidak berakhir dengan happy ending, tidak ada antiklimaks, kecuali hanya meninggalkan kata-kata bijak belaka. Lebih jauh lagi, perlengkapan Arai di kamar justru peralatan kimia, padahal ia menggeluti biologi. (Erit Aswadi)


0 komentar:

Posting Komentar