Produksi
: Mizan Production, Falcon Pictures
Produser : Putut Widianarko dan Avesina Soebli
Sutradara : Benni Setiawan
Genre: Drama Remaja
Aktor dan Aktris : Lukman Sardi, Abimana Aryasatya, Astrid Roos, Mathias Muchus, Zulfani, Rendy Akhmad
Produser : Putut Widianarko dan Avesina Soebli
Sutradara : Benni Setiawan
Genre: Drama Remaja
Aktor dan Aktris : Lukman Sardi, Abimana Aryasatya, Astrid Roos, Mathias Muchus, Zulfani, Rendy Akhmad
Tidak terasa, kita telah berada di tahun baru 2014.
Terciptanya suatu perubahan adalah harapan semua orang. Tentu, perubahan yang
dimaksudkan ialah hijrah dari keburukan menuju kepada kebaikan. Sebab, esensi
perubahan merupakan suatu itikad untuk memperbaiki segala kesalahan di masa
lalu. Perubahan menyangkup seluruh aspek kehidupan, termasuk mimpi, dan cinta.
Salah satu resolusi di tahun baru ialah usaha kita
untuk mencintai hasil karya anak negeri. Karena selama ini,diakui atau tidak,
kita lebih gandrung pada hasil karya orang luar ketimbang hasil jerih payah
yang ditampilkan oleh anak kandung negeri ini.
Dalam dunia perfilman misalnya, kita lebih condong
menggemari produk luar negeri dan mengganggap tak berkelas hasil karya seniman
lokal di dalam negeri sendiri. Akhirnya, di mata dan hati penonton, film karya
anak negeri justru tersingkirkan, kalah telak dari produksi luar negeri yang
tampak dengan kualitas dan mutu bagus. Padahal, jika diamati secara saksama,
karya asli anak negeri, terkhusus di dunia perfilman sebenarnya tidak kalah
bagusnya ketimbang karya-karya luar.
Para sutradara dalam negeri tampaknya berpikir
cukup keras agar karya-karya mereka diminati oleh seluruh anak negeri ini.
Namun, sutradara-sutradara lokal semakin hari tampak cuku jenius dalam
menyajikan film yang akan disuguhkan ke hadapan publik negeri kita.
Aspek budaya serta cara pandang masyarakat terhadap
dinamika kehidupan di Indonesia tampak dijadikan sebagai referensi utama bagi
para sutradara agar hasil karya mereka memiliki tempat di hati masyarakat
secara luas. Tentu, tanpa menafikan aspek bisnis yang menjadi bagian lain dari
dunia perfilman itu sendiri.
Edensor, Laskar Pelangi 2 hasil karya Andrea Hirata
patut ditonton. Kisahnya sangat inspiratif. Film yang diproduseri oleh Putut
Widjanarko dan Avesina Soebli ini mengetengahkan kisah dua orang sahabat yang
ingin menggapai mimpinya lewat studi ke luar negeri. Di sebuah universitas
kenamaan Sorbonne, Paris, Prancis. Ya, kedua sahabat itu bernama Ikal (Lukman
Sadri) dan Arai (Abimana Aryasatya).
Dikisahkan, Ikal dan Arai adalah dua pemuda asal
Belitung yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk studi ke universitas
Sorbonne. Di universitas terkenal itu, Ikal mengambil bidang studi ilmu
ekonomi, sementara Arai di bidang biologi. Mereka tinggal bersama di satu
tempat, dan dalam kesehariannya pun mereka hidup bersama serta saling menyokong
antara satu sama lain. Di Universitas Sorbonne, Ikal dan Arai tampil sebagai
pelajar yang cerdas.
Di sisi lain, sadar biaya beasiswanya pas-pasan,
sambil kuliah Ikal dan Arai bekerja apa saja demi mengatasi kekurangan. Jadi
pelayan dan mengamen di jalanan pun mereka lakukan. Hasilnya mereka simpan, dan
dikirim ke orang tua mereka di Belitung. Inilah cara keduanya untuk bertahan di
negeri orang serta membantu orang tua mereka yang jauh.
Untuk menggapai mimpi dan cita-cita memang bukanlah
urusan mudah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Rintangan dan godaan
seakan telah jadi dua hal yang ditakdirkan untuk menyertai dalam sebuah
perjuangan hidup. Rintangan pertama mereka ialah soal tempat tinggal karena
keduanya harus hidup berpindah-pindah. Padahal, di Eropa saat itu sedang
diterpa musim dingin dan bersalju hingga mencapai 0 derajat.
Selanjutnya, setelah lepas dari rintangan pertama,
godaan lain datang bagai tamu tak diundang. Katya, seorang gadis primadona yang
jadi bahan rebutan para lelaki di Sorbonne justru memilih Ikal untuk menjadi
pacarnya. Sulit bagi Ikal untuk menolak gadis secantik Katya. Ikal dan Katya
pun terbuai asmara dan berpacaran.
Mendengar hal itu, Arai lantas bersikap sinis.
Bukan karena cemburu atau iri hati, tetapi Arai khawatir akan nasib studi
sahabatnya itu akan terbengkalai. Mereka pun jadi bertengkar hebat setelah
berkali-kali Arai menasehati tetapi Ikal tak mau peduli.Dan ini jadi rintangan
ketiga bagi keduanya.
Karuan saja, kekhawatiran Arai terbukti. Nilai Ikal
menurun drastis. Bahkan Ikal nyaris tidak lulus semester satu. Namun, tak butuh
waktu lama, Ikal segera menyadari kesalahannya dan berjanji akan segera
memperbaiki keadaan. Ikal minta kepada Katya untuk mengakhiri jalinan asmara
yang telah mereka rajut dengan dalih perbedaan keduanya dalam memandang serta
mendefinisikan arti cinta.
Selain itu, Ikal juga tidak dapat menampik bahwa
dirinya masih sangat mencintai Aling, gadis Belitung yang telah lama tersimpan
di hatinya. Ikal pun kembali ke tujuan awal ia datang ke Paris yakni dalam
rangka studi, mengejar mimpi, dan membahagiakan keluarga di Belitung.
Film yang ditayangkan pada 24 Desember 2013 ini menyajikan kisah yang
menarik dan inspiratif. Dalam memulai resolusi di tahun baru, film yang
diangkat dari novel Andrea Hirata ini patut dijadikan sebagai inspirasi. Meski
begitu, kekurangan yang tampak jelas di aktingnya. Film yang juga diperankan
Mathias Muchus ini justru lebih menonjolkan menara Eiffelnya ketimbang
universitas Sorbonne yang ternama itu, padahal, kisahnya tentang mengejar mimpi
melalui pendidikan.
Film ini tidak berakhir dengan happy ending, tidak
ada antiklimaks, kecuali hanya meninggalkan kata-kata bijak belaka. Lebih jauh
lagi, perlengkapan Arai di kamar justru peralatan kimia, padahal ia menggeluti
biologi. (Erit Aswadi)
0 komentar:
Posting Komentar